Adalah masa ketika harus menelan bulir kegagalan
demi kegagalan. Seakan keberhasilan begitu jauh dari jarak penglihatan. Ketika
buah jerih payah yang kita usahakan masih belum membuahkan hasil yang manis.
Saat rentetan kata gagal terasa kian menemani setiap perjuangan dan
pengorbanan. –Dewi N.A
Hampir
saja diri ini putus asa. Memilih untuk flight
menghindari risiko kegagalan. Rasanya masih banyak ketakutan, takut gagal
ketika sudah berikhtiar maksimal. Padahal katanya
kegagalan yang sudah jelas adalah ketika kita tidak berani mencoba.
Dulu,
aku percaya bahwa hasil tidak akan
menghianati usaha tapi kepercayaan itu menjadikan aku seolah-olah
menuhankan ikhtiar, padahal kita tahu pemegang kekuasaan di bumi ini siapa.
Semua bisa saja terjadi, itu hak-Nya dan pastinya selalu memilihkan yang
terbaik. Entah kata-kata itu milik siapa tapi dulu ketika aku berusaha
mati-matian untuk mencapai sesuatu dan aku yakin hasilnya akan berbanding lurus
karena hebatnya aku dalam ikhtiar, aku jadi curiga jangan-jangan selama ini aku
menuhankan ikhtiar, atau lupa bertawakal, atau niatnya yang berbelok.
Di
samping itu aku juga terngiang ucapan Said Nursi “Demi Allah aku tidak berani meminta surga sedangkan aku hanya bersantai.”
Barangkali seperti itu kurang lebih kalimatnya.
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk membuat kita bersantai dan berpangku tangan untuk
mendapatkan sesuatu. Tidak. Bukan itu maksudku.
Bahkan
sudah jelas dalam Al-Qur’an bahwa Allah
tidak akan mengubah suatu kaum sebelum kaum itu mengubahnya sendiri .
Ikhtiar dan doa adalah sebuah keharusan. Namun, niat juga diluruskan.
Aku
jadi curiga, jangan-jangan target hidup yang sudah disusun sedemikian rupa dan
aku ikhtiar untuk mencapainya itu hanya untuk pembuktian bahwa diri ini mampu.
Pada akhirnya banyak berambisi lalu kurang mensyukuri.
Kegagalan
berkali-kali untuk mendapat prodi itu di Nangor membuat diri ini stuck. Setiap hari hanya memikirkan, ini bukan jalan mimpimu. Dan
ekspektasinya dulu, aku dekat dengan daerah tempat lahirku bukan karena aku anak mama yang tidak bisa survive hidup
jauh, tapi karena aku ingin bisa mewakafkan diri untuk terlibat dalam memajukan
yang katanya kota Santri. Beraliansi kebaikan dengan teman-teman
hebatku yang notabene di kampus-kampus yang ada di Jawa Barat (read: ITB,
Unpad, UI, UPI, IPB). Ekspektasinya dulu, aku bisa membuat pergerakan semacam Shift atau Pemuda Hijrah seperti di Bandung yang rasanya terlihat lebih baik
sekarang. Lalu kemudian aku bisa ikut acara Ladies
Day dan main skateboard di
Bandung. Tapi, jarak memang selalu menjadi penghalang. Memang nih, ekspektasi.
Ada masa ketika kita terjatuh
perih, tergores luka, menyisakan perih dalam dada. Saat kita begitu kencang
berlari, dan terpaksa harus berhenti karena tersandung kerikil-kerikil ujian
dan duri. –Dewi.N.A
Selama
ini aku hanya takut, takut menjadi singa di kampus tapi kucing di kampung.
Bukan karena aku ingin terlihat atau dominan, sungguh itu terlalu hina untuk
dinilai oleh manusia, penilaian Allah adalah prioritas. Aku hanya takut tidak
bisa memberikan hal yang besar untuk tempat yang lebih kenal aku terlebih
dahulu.
Ini
memang harus dihadapi, selagi ada kesempatan, selagi masih ada harapan, selagi
ada kemungkinan meskipun hanya 0,000001%. Kamu harus mencoba.
Pundak
ini dirancang oleh Sang Maha Kuasa, aku yakin amanah yang dititipkan akan kuat
untuk dipikul.
Kaki
ini dibuat oleh Sang Maha Kuasa, aku yakin larinya akan semakin kencang dan
tidak mudah lelah di jalan perjuangan.
(Taken by me, Buku Awe Ispiring Me karya Dewi Nur Aisyah)
Yogyakarta, 13 Januari 2018
No comments:
Post a Comment