Saturday, January 13, 2018

Fight or Flight

Adalah masa ketika harus menelan bulir kegagalan demi kegagalan. Seakan keberhasilan begitu jauh dari jarak penglihatan. Ketika buah jerih payah yang kita usahakan masih belum membuahkan hasil yang manis. Saat rentetan kata gagal terasa kian menemani setiap perjuangan dan pengorbanan. –Dewi N.A
Hampir saja diri ini putus asa. Memilih untuk flight menghindari risiko kegagalan. Rasanya masih banyak ketakutan, takut gagal ketika sudah berikhtiar maksimal. Padahal katanya kegagalan yang sudah jelas adalah ketika kita tidak berani mencoba.
Dulu, aku percaya bahwa hasil tidak akan menghianati usaha tapi kepercayaan itu menjadikan aku seolah-olah menuhankan ikhtiar, padahal kita tahu pemegang kekuasaan di bumi ini siapa. Semua bisa saja terjadi, itu hak-Nya dan pastinya selalu memilihkan yang terbaik. Entah kata-kata itu milik siapa tapi dulu ketika aku berusaha mati-matian untuk mencapai sesuatu dan aku yakin hasilnya akan berbanding lurus karena hebatnya aku dalam ikhtiar, aku jadi curiga jangan-jangan selama ini aku menuhankan ikhtiar, atau lupa bertawakal, atau niatnya yang berbelok.
Di samping itu aku juga terngiang ucapan Said Nursi “Demi Allah aku tidak berani meminta surga sedangkan aku hanya bersantai.” Barangkali seperti itu kurang lebih kalimatnya.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membuat kita bersantai dan berpangku tangan untuk mendapatkan sesuatu. Tidak. Bukan itu maksudku.
Bahkan sudah jelas dalam Al-Qur’an bahwa Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum kaum itu mengubahnya sendiri . Ikhtiar dan doa adalah sebuah keharusan. Namun, niat juga diluruskan.
Aku jadi curiga, jangan-jangan target hidup yang sudah disusun sedemikian rupa dan aku ikhtiar untuk mencapainya itu hanya untuk pembuktian bahwa diri ini mampu. Pada akhirnya banyak berambisi lalu kurang mensyukuri.
Kegagalan berkali-kali untuk mendapat prodi itu di Nangor membuat diri ini stuck. Setiap hari hanya memikirkan, ini bukan jalan mimpimu. Dan ekspektasinya dulu, aku dekat dengan daerah tempat lahirku bukan karena aku anak mama yang tidak bisa survive hidup jauh, tapi karena aku ingin bisa mewakafkan diri untuk terlibat dalam memajukan yang katanya kota Santri. Beraliansi kebaikan dengan teman-teman hebatku yang notabene di kampus-kampus yang ada di Jawa Barat (read: ITB, Unpad, UI, UPI, IPB). Ekspektasinya dulu, aku bisa membuat pergerakan semacam Shift atau Pemuda Hijrah seperti di Bandung yang rasanya terlihat lebih baik sekarang. Lalu kemudian aku bisa ikut acara Ladies Day dan main skateboard di Bandung. Tapi, jarak memang selalu menjadi penghalang. Memang nih, ekspektasi.
Ada masa ketika kita terjatuh perih, tergores luka, menyisakan perih dalam dada. Saat kita begitu kencang berlari, dan terpaksa harus berhenti karena tersandung kerikil-kerikil ujian dan duri. –Dewi.N.A
Selama ini aku hanya takut, takut menjadi singa di kampus tapi kucing di kampung. Bukan karena aku ingin terlihat atau dominan, sungguh itu terlalu hina untuk dinilai oleh manusia, penilaian Allah adalah prioritas. Aku hanya takut tidak bisa memberikan hal yang besar untuk tempat yang lebih kenal aku terlebih dahulu.
Ini memang harus dihadapi, selagi ada kesempatan, selagi masih ada harapan, selagi ada kemungkinan meskipun hanya 0,000001%. Kamu harus mencoba.
Pundak ini dirancang oleh Sang Maha Kuasa, aku yakin amanah yang dititipkan akan kuat untuk dipikul.

Kaki ini dibuat oleh Sang Maha Kuasa, aku yakin larinya akan semakin kencang dan tidak mudah lelah di jalan perjuangan.

(Taken by me, Buku Awe Ispiring Me karya Dewi Nur Aisyah)

Yogyakarta, 13 Januari 2018

No comments:

Post a Comment