Berbicara tentang pujian, memang tidak dapat dipungkiri hampir sebagian besar manusia menyukai pujian adalah manusiawi kita senang akan pujian, sesuai dengan teori yang di sampaikan oleh Profesor Norihiro Sadato dari National Institute For Physiological Science dari Jepang yang terdapat dalam tulisan yang berkaitan dengan hormon pada manusia yang nantinya berpengaruh terhadap keseimbangan jiwa seseorang, namun hal ini bukan untuk menjadi acuan atau landasan bulat kita dalam menanggapi pujian atau bukan juga untuk selalu di-amin-kan tapi menjadi refleksi diri dan lebih hati-hati, karena pujian berkaitan dengan peran hati, respon hati yang bahagia, hati yang senang atas apresiasi yang orang lain katakan, namun jika kita terlena dengan semua pujian bisa jadi akan berpotensi pada penyakit hati atau bahkan syirik yaitu riya (pamer). Dalam muslim.or.id oleh dr.Andika menyebutkan bahwa riya’ adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehinga pujian dan ketenaran pun datang tenar. Riya’ dan semua derivatnya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik. Hal ini erat kaitannya dengan Da’I atau orang yang berdakwah menyerukan agama Allah, jangan sampai hal-hal yang kita sampaikan akan terhapus dan berterbangan tanpa sisa karena terhapus riya atas semua ayat-ayat kalamullah yang kita sampaikan, maka dari itu sebelum semuanya terlambat pentignya selalu memperbaiki niat “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907] niat tidak hanya di awal saja, namun juga di tengah, dan sampai akhir harus terus diluruskan niatnya. Menjadi Da’I memang tidak mudah, kita tidak hanya dihadapkan dengan bagaimana menyampaikan kebaikan pada manusia saja namun juga pertanggungjwaban atas apa yang kita serukan kepada manusia, yang nantiya jika itu baik maka pahala jariyah mengalir kepada kita, namun jika yang di sampaikan salah dan diikuti oleh objek Da’I maka dosanyapun akan mengalir pada yang menyampaikan. Itulah pentingnya Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah. Ilmu qobla amal.
Berbicara tentang Da’I yang produktif dalam
pemahaman saya saat ini Dakwah/ menyerukan pada kebaikan tidak hanya di batasi
oleh dinding-dinding masjid atau mushola, karena pada faktanya objek-objek
dakwah kita adalah orang-orang yang diluar masjid, fenomena kajian LDF yang
sudah dirancang sedemikian rupa di masjid namun sayangnya yang hadir hanya
anggota LDF itu sendiri atau orang-orang yang sudah shalih, yang menjadi
pertanyaan besar adalah sebenarnya siapa target dakwah kita?
Jika kita kilas balik sejarah, metode-metode
dakwah Rasul, dakwah di zaman Nabi terdahulu, juga di zaman Khalifah sudah
banyak di contohkan metode-metode yang disesuaikan dengan zamannya, begitupun
kilas balik pada saat dakwah walisono, berbagai metode dilakukan agar agama
Allah tersampaikan dengan metode yang juga sesuai zaman.
Jika kita kembali pada masa ini, dimana
orang-orang menyebutnya millenials. Istilah generasi millennial sedang
akrab terdengar. Istilah ini berasal dari millennials yang diciptakan oleh dua
pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa
bukunya. Para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir.
Penggolongan generasi Y terbentuk bagi mereka yang lahir pada 1980 - 1990, atau
pada awal 2000, dan seterusnya. Dengan segala minat pada teknologi dan
digitalisasi hal ini kemudian menjadi sarana yang tepat untuk bisa menyisipkan
dakwah dengan metode yang inovatif dan unik, dengan melalui sosial media,
podcast, video inspiratif, aau segala hal yang bisa dalam bentuk audio visual
dan di luncurkan pada setiap media sosial yang saat ini menduduki tingkatan tertinggi
dalam hal penggunaan adalah youtube dan instagram, ini juga merupakan salah
satu strategi untuk bisa menimbun konten-konten negatif menjadi konten-konten
dakwah yang inklusif, dikemas dengan menarik dan membahas hal-hal yang sedang
hangat namun dengan isi mensyiarkan nilai-nilai islam, metode-metode inilah
yang sebaiknya di analisis bagaimana minat orang di zaman ini, bagaimana
membungkus dakwah dengan kemasan yang menarik untuk bisa menraik perhatian
objek agar bisa masuk dan menerima isinya, karena untuk menjadi Da’I yang
produktif kita tidak hanya dituntuk untuk berdakwah di atas mimbar-mimbar
masjid, namun juga di jalan saat aksi, di sekretariat BEM/kelompok Studi, di
ruang-ruang diskusi praktikum/kelas, di media sosial, di tempat mein skateboard,
tempat nongkrong, kafe-kafe, tempat ngopi, terutama di media sosial yang sat
ini sudah tidak bisa terlepas dari masing-masing orang. Sehingga menjadi Da’i
produktif kita tidak hanya menyoal tentang substansi apa saja yang ingin kita
sampaikan, tetapi juga pada metode apa yang tepat, sasaran mana yang seharusnya
diutamakan, dan kemasan apa yang harsu kita tampilkan, agar dakwah tidak hanya
sebatas pada manusia-manusia yang sudah shalih, tapi meluas seperti epidemi
penyakit menular, da’I yang produktif juga harus mempu menebakan epidemi dakwah
millenial yang efeknya tidak hanya untuk segelintir orang shalih naumun juga
segala penjuru dan segala warna manusia.
No comments:
Post a Comment