Sejarah mengenai penaklukan Konstantinopel oleh Sultan
Mehmed II memberikan gambaran jelas bahwa untuk melakukan hal yang besar banyak
aspek yang harus diperhatikan dan dikuatkan, hal yang harus dipupuk sejak dini
salah satunya adalah memiliki mental dan spiritual yang kuat, kokoh, dan membangun
resilience. Sebagaimana firman Allah di Al-Ankabut : 2-3, ujian bagi
orang beriman akan terus ada, setiap orang akan mengalami lika-liku hidup,
tantangan setiap hari, hingga di titik peristiwa traumatis yang memiliki dampak
yang lebih tahan lama yang menggoncang mental kita. Setiap perubahan orang
secara berbeda akan membanjiri pemikiran yang unik, emosi yang kuat, dan tahan
akan ketidakpastian. Namun, manusia terlahir sebagai makhluk hidup yang
adaptif, bisa beradaptasi dengan baik dari satu waku ke waktu yang lain, dari
situasi satu ke situasi yang lain yang sangat berpengaruh pada hidup, hal
tersebut karena kita memiliki resilience. Resilience atau
ketahanan sebagai proses beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan,
trauma, tragedi, ancaman, maupun sumber stres lain baik itu masalah keluarga,
kesehatan yang serius, maupun gangguan dari tempat kerja dan keuangan yang
membuat mental kita lemah (American Psychological Association, 2012). Resilience
berkaitan dengan ‘bangkit kembali’ dari pengalaman sulit dan memaknai semua
adalah proses untuk bertumbuh.
Terdapat
banyak peristiwa maupun kejadian buruk dalam hidup, jika Sultan Mehmed II
mendapati kejadian yang membuat mentalnya terguncang adalah kekalahan yang
terus menerus, maka mungkin kejadian yang membuat mental kita terguncang adalah
hal yang berbeda, namun percayalah bahwa kejadian tersebut tidak menentukan
hasil dari hidup kita asal kita tetap memiliki mental yang kokoh. Ada banyak
aspek yang dapat kita kendalikan, modifikasi, dan kembangkan. Itulah peran resilience.
Memiliki mental yang tangguh tidak hanya membantu kita melewati keadaan sulit,
namun juga memberdayakan kita untuk selalu tumbu bahkan meningkatkan kualitas
hidup kita di sepanjang perjalanan sampai Allah memanggil kita pulang. Menjadi
tangguh tidak berarti bahwa seseorang tidak pernah ataupun tidak akan mengalami
kesulitan maupun kesusahan. Orang yang mengalami kesulitan maupun trauma besar
dalam hidup yaitu mereka yang mengalami rasa sakit dan stres emosional yang
pada akhirya menjadi jalan menuju ketahanan/resilience. Faktor-faktor
tersebut membuat beberapa individu lebih tangguh dan memiliki mental yang kokoh
dibanding yang lain. Ketahanan melibatkan perilaku, pikiran, dan tindakan yang
dapat dipelajari dan dikembangkan oleh siapapun. Sama halnya dengan membangun
otot, meningkatkan ketahanan dan kekokohan mental kita membutuhkan waktu dan
niat. Menurut American Psychological Association (APA) menjelaskan bahwa
terdapat empat komponen inti berkaitan dengan memberdayakan diri sendiri untuk
bisa meningkatkan kapasitas agar memiliki ketahanan, mulai dari enemukan tujuan,
membangun koneksi atau memprioritaskan hubungan dengan orang yang memiiki
loyalitas dan empati serta pengertian dapat menjadi supporting kita bertahan
dan memiliki mental yang kokoh, serta bersikaplah proaktif. Sebagaimana kisah
Muhammad Al-Fatih yang tidak menyerah ketika gagal, namun terus bangkit,
menggunakan berbagai strategi demi mencapai mimpinya.
Tidak hanya kokoh mental, akar atau pondasi yang juga penting adalah kokohnya spriritual kita, karena itu adalah akar, yang jika tidak kuat maka semuanya akan runtuh. Terdapat kisah sederhana, ada seseorang yang hidup di desa. Beiu menanam pohon pisang, pepaya, dan bambu. Ketiga pohon yang ditanam ternyata pohon bambu yang paling lama muncul ke permukaan tanah. Tahun ppertama, ptani memerhatikan ternyata pohon bambu belum muncu. Beliau meninggu dan berkata mungkin pada tahun kedua akan muncul. Namu, saat memasuki than kedua ternyata tidak juga muncul. Sampailah ia mengira bahwa bambu sudha mati dan tidak akan tumbuh seperti pohon lain. Dan ternyata, di tahun ketiga barulah ia muncul. Ditahun berikutnya bambu tersebut menjulang tinggi dan tahan saat ada terpaan angin kencang menimpa tubuhnya. Ternyata proses yang lebih lama dibanding yang lain adalah yang dilakukan bambu untuk menancapkan akar sekuat-kuatnya terlebih dahulu baru tumbuh dan muncul ke permukaan. Sehingga lebih kokoh dibanidng yang lain.pelajaran dari kisah sederhana tersebut adalah untuk bisa mencapai tingkatan pencerahan spiritual yang lebih tinggi, kita tidak boleh lupa untuk menancapkan akar dengan kuat. Karena jika ada angin kencang tiba, entah itu sesuatu pemikiran yang ekstrem, atau apapun yang membuat iman kita goyah, kita senantiasa tidak akan terpengaruh dan tidak roboh karenanya. Hal tersebut adalah pentingnya akar-akar aqidah yang kokoh, spiritual yang kuat. Untuk mengakarkan tenunya harus melewati latihan demi latihan dalam batasan syariat yang istiqamah kita kerjakan. Sebagaimana dalam kisah Muhammad Al – Fatih yang ternyata memang sudah dipupuk sejak dini, mulai dari keistiqamahan ibadah, menuntut ilmu dengan sungguhh-sungguh, lingkungan yang baik dan mendukung misinya, dan hawa nafsu yang terjaga. Pada intinya untuk mendapatkan spiritual yang kokoh kita harus meyakinkan bahwa kita memiliki tujuan. Yaitu Allah.
Referensi :
Fletcher, D., Sarkar, M., 2013, Psychological Resilience A Review and Critique of
Definitions, Concepts, and Theory, European Psychologist, Vol. 18(1):12–23
Marzuqi, Ikhwan, 2017, Spiritual Enlightenment, Jakarta, Gramedia
American Psychological Association, Building Your Resilience, dilihat 1 April 2021, diakses
di : https://www.apa.org/topics/resilience
No comments:
Post a Comment