Tuesday, May 18, 2021

Kokoh Mental dan Spiritual

 

Sejarah mengenai penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II memberikan gambaran jelas bahwa untuk melakukan hal yang besar banyak aspek yang harus diperhatikan dan dikuatkan, hal yang harus dipupuk sejak dini salah satunya adalah memiliki mental dan spiritual yang kuat, kokoh, dan membangun resilience. Sebagaimana firman Allah di Al-Ankabut : 2-3, ujian bagi orang beriman akan terus ada, setiap orang akan mengalami lika-liku hidup, tantangan setiap hari, hingga di titik peristiwa traumatis yang memiliki dampak yang lebih tahan lama yang menggoncang mental kita. Setiap perubahan orang secara berbeda akan membanjiri pemikiran yang unik, emosi yang kuat, dan tahan akan ketidakpastian. Namun, manusia terlahir sebagai makhluk hidup yang adaptif, bisa beradaptasi dengan baik dari satu waku ke waktu yang lain, dari situasi satu ke situasi yang lain yang sangat berpengaruh pada hidup, hal tersebut karena kita memiliki resilience. Resilience atau ketahanan sebagai proses beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman, maupun sumber stres lain baik itu masalah keluarga, kesehatan yang serius, maupun gangguan dari tempat kerja dan keuangan yang membuat mental kita lemah (American Psychological Association, 2012). Resilience berkaitan dengan ‘bangkit kembali’ dari pengalaman sulit dan memaknai semua adalah proses untuk bertumbuh.

            Terdapat banyak peristiwa maupun kejadian buruk dalam hidup, jika Sultan Mehmed II mendapati kejadian yang membuat mentalnya terguncang adalah kekalahan yang terus menerus, maka mungkin kejadian yang membuat mental kita terguncang adalah hal yang berbeda, namun percayalah bahwa kejadian tersebut tidak menentukan hasil dari hidup kita asal kita tetap memiliki mental yang kokoh. Ada banyak aspek yang dapat kita kendalikan, modifikasi, dan kembangkan. Itulah peran resilience. Memiliki mental yang tangguh tidak hanya membantu kita melewati keadaan sulit, namun juga memberdayakan kita untuk selalu tumbu bahkan meningkatkan kualitas hidup kita di sepanjang perjalanan sampai Allah memanggil kita pulang. Menjadi tangguh tidak berarti bahwa seseorang tidak pernah ataupun tidak akan mengalami kesulitan maupun kesusahan. Orang yang mengalami kesulitan maupun trauma besar dalam hidup yaitu mereka yang mengalami rasa sakit dan stres emosional yang pada akhirya menjadi jalan menuju ketahanan/resilience. Faktor-faktor tersebut membuat beberapa individu lebih tangguh dan memiliki mental yang kokoh dibanding yang lain. Ketahanan melibatkan perilaku, pikiran, dan tindakan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh siapapun. Sama halnya dengan membangun otot, meningkatkan ketahanan dan kekokohan mental kita membutuhkan waktu dan niat. Menurut American Psychological Association (APA) menjelaskan bahwa terdapat empat komponen inti berkaitan dengan memberdayakan diri sendiri untuk bisa meningkatkan kapasitas agar memiliki ketahanan, mulai dari enemukan tujuan, membangun koneksi atau memprioritaskan hubungan dengan orang yang memiiki loyalitas dan empati serta pengertian dapat menjadi supporting kita bertahan dan memiliki mental yang kokoh, serta bersikaplah proaktif. Sebagaimana kisah Muhammad Al-Fatih yang tidak menyerah ketika gagal, namun terus bangkit, menggunakan berbagai strategi demi mencapai mimpinya.

Tidak hanya kokoh mental, akar atau pondasi yang juga penting adalah kokohnya spriritual kita, karena itu adalah akar, yang jika tidak kuat maka semuanya akan runtuh. Terdapat kisah sederhana, ada seseorang yang hidup di desa. Beiu menanam pohon pisang, pepaya, dan bambu. Ketiga pohon yang ditanam ternyata pohon bambu yang paling lama muncul ke permukaan tanah. Tahun ppertama, ptani memerhatikan ternyata pohon bambu belum muncu. Beliau meninggu dan berkata mungkin pada tahun kedua akan muncul. Namu, saat memasuki than kedua ternyata tidak juga muncul. Sampailah ia mengira bahwa bambu sudha mati dan tidak akan tumbuh seperti pohon lain. Dan ternyata, di tahun ketiga barulah ia muncul. Ditahun berikutnya bambu tersebut menjulang tinggi dan tahan saat ada terpaan angin kencang menimpa tubuhnya. Ternyata proses yang lebih lama dibanding yang lain adalah yang dilakukan bambu untuk menancapkan akar sekuat-kuatnya terlebih dahulu baru tumbuh dan muncul ke permukaan. Sehingga lebih kokoh dibanidng yang lain.pelajaran dari kisah sederhana tersebut adalah untuk bisa mencapai tingkatan pencerahan spiritual yang lebih tinggi, kita tidak boleh lupa untuk menancapkan akar dengan kuat. Karena jika ada angin kencang tiba, entah itu sesuatu pemikiran yang ekstrem, atau apapun yang membuat iman kita goyah, kita senantiasa tidak akan terpengaruh dan tidak roboh karenanya. Hal tersebut adalah pentingnya akar-akar aqidah yang kokoh, spiritual yang kuat. Untuk mengakarkan tenunya harus melewati latihan demi latihan dalam batasan syariat yang istiqamah kita kerjakan. Sebagaimana dalam kisah Muhammad Al – Fatih yang ternyata memang sudah dipupuk sejak dini, mulai dari keistiqamahan ibadah, menuntut ilmu dengan sungguhh-sungguh, lingkungan yang baik dan mendukung misinya, dan hawa nafsu yang terjaga. Pada intinya untuk mendapatkan spiritual yang kokoh kita harus meyakinkan bahwa kita memiliki tujuan. Yaitu Allah.


Referensi :

Fletcher, D., Sarkar, M., 2013, Psychological Resilience A Review and Critique of

Definitions,  Concepts, and Theory, European Psychologist, Vol. 18(1):12–23

Marzuqi, Ikhwan, 2017, Spiritual Enlightenment, Jakarta, Gramedia

American Psychological Association, Building Your Resilience, dilihat 1 April 2021, diakses

di : https://www.apa.org/topics/resilience



In Frame : Acara AQU Medika (program Camp bersama Al-Quran)

No comments:

Post a Comment